Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan.
Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?" Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dek saya sudah kenyang".
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda.
Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".
Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.
Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. "Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 1.500,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja. "Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta.
Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain. "Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?".
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah, ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang.
Suatu pantangan bagi ibunya, bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.
Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan", ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.
***
2 Tesalonika 3:10b "...., jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan."
Wednesday, 28 December 2016
Tuesday, 27 December 2016
Bocah Pemotong Rumput
Cakep nih.., mengevaluasi apa yang kita kerjakan di tahun 2016 untuk memastikan kualitas yang lebih baik di tahun 2017
Seorang bocah laki-laki masuk ke sebuah toko. Ia mengambil peti minuman dan mendorongnya ke dekat pesawat telepon koin. Lalu, ia naik ke atasnya sehingga ia bisa menekan tombol angka di telepon dengan leluasa. Ditekannya tujuh digit angka. Si pemilik toko mengamati terus tingkah bocah ini dan menguping percakapan teleponnya.
Bocah: "Ibu, bisakah saya mendapat pekerjaan memotong rumput di halaman Ibu?"
Ibu (di ujung telepon): "Saya sudah punya orang untuk mengerjakannya".
Bocah: "Ibu bisa bayar saya setengah upah dari orang itu".
Ibu: "Saya sudah sangat puas dengan hasil kerja orang itu".
Bocah (dgn sedikit memaksa): "Saya juga akan menyapu pinggiran trotoar Ibu dan saya jamin di hari Minggu halaman rumah Ibu akan jadi yang tercantik di antara rumah-rumah yang berada di kompleks perumahan ibu".
Ibu: "Tidak, terima kasih".
Dengan senyuman di wajahnya, bocah itu menaruh kembali gagang telepon. Si pemilik toko, yang sedari tadi mendengarkan, menghampiri bocah itu.
Pemilik Toko: "Nak, aku suka sikapmu, semangat positifmu, dan aku ingin menawarkanmu pekerjaan".
Bocah: "Tidak. Makasih".
Pemilik Toko: "Tapi tadi kedengarannya kamu sangat menginginkan pekerjaan".
Bocah: "Oh, itu, Pak. Saya cuma mau mengecek apa kerjaan saya sudah bagus. Sayalah yang bekerja untuk Ibu tadi!"
Hikmah yang bisa kita petik, sebaiknyalah kita mengevaluasi tentang apa yang kita kerjakan di tahun 2016 untuk memastikan kualitas yang lebih baik di tahun 2017
WAKTU seperti sungai, kita tidak bisa menyentuh air yang sama untuk kedua kalinya, karena air yang telah mengalir akan terus berlalu dan tidak akan pernah KEMBALI.
Tahun Baru 2017 tinggal beberapa hari lagi, kita akan sambut dengan tetap menjaga ke ikhlasan, ketulusan, kejujuran dan berdamai dengan semua orang.
Seorang bocah laki-laki masuk ke sebuah toko. Ia mengambil peti minuman dan mendorongnya ke dekat pesawat telepon koin. Lalu, ia naik ke atasnya sehingga ia bisa menekan tombol angka di telepon dengan leluasa. Ditekannya tujuh digit angka. Si pemilik toko mengamati terus tingkah bocah ini dan menguping percakapan teleponnya.
Bocah: "Ibu, bisakah saya mendapat pekerjaan memotong rumput di halaman Ibu?"
Ibu (di ujung telepon): "Saya sudah punya orang untuk mengerjakannya".
Bocah: "Ibu bisa bayar saya setengah upah dari orang itu".
Ibu: "Saya sudah sangat puas dengan hasil kerja orang itu".
Bocah (dgn sedikit memaksa): "Saya juga akan menyapu pinggiran trotoar Ibu dan saya jamin di hari Minggu halaman rumah Ibu akan jadi yang tercantik di antara rumah-rumah yang berada di kompleks perumahan ibu".
Ibu: "Tidak, terima kasih".
Dengan senyuman di wajahnya, bocah itu menaruh kembali gagang telepon. Si pemilik toko, yang sedari tadi mendengarkan, menghampiri bocah itu.
Pemilik Toko: "Nak, aku suka sikapmu, semangat positifmu, dan aku ingin menawarkanmu pekerjaan".
Bocah: "Tidak. Makasih".
Pemilik Toko: "Tapi tadi kedengarannya kamu sangat menginginkan pekerjaan".
Bocah: "Oh, itu, Pak. Saya cuma mau mengecek apa kerjaan saya sudah bagus. Sayalah yang bekerja untuk Ibu tadi!"
Hikmah yang bisa kita petik, sebaiknyalah kita mengevaluasi tentang apa yang kita kerjakan di tahun 2016 untuk memastikan kualitas yang lebih baik di tahun 2017
WAKTU seperti sungai, kita tidak bisa menyentuh air yang sama untuk kedua kalinya, karena air yang telah mengalir akan terus berlalu dan tidak akan pernah KEMBALI.
Tahun Baru 2017 tinggal beberapa hari lagi, kita akan sambut dengan tetap menjaga ke ikhlasan, ketulusan, kejujuran dan berdamai dengan semua orang.
Thursday, 8 December 2016
Pak Bagus
Ada seorang teman, Pak Bagus namanya.
Beliau adalah seorang guru yang sangat ceria, menyenangkan dan kocak.
Siapapun yang berada di dekatnya merasa gembira ria.
Keunikannya adalah bahwa ia selalu berkata, "Bagus itu!" untuk segala hal. Di matanya segalanya adalah karunia.
Hujan?
"Bagus itu, banyak berkah, saatnya berdoa"
Sakit?
"Bagus itu, saatnya untuk beristirahat"
Tidak naik kelas?
"Bagus itu, jadi kamu bisa belajar lebih dalam"
Dipecat?
"Bagus itu, saatnya belajar sungguh-sungguh menjadi pengusaha"
Di sisi lain ia perfeksionis luar biasa. Ia bisa melihat kesalahan sampai titik koma sekalipun. Bedanya dengan guru lain, ia tak pernah marah hanya gara-gara kurang titik koma. Ia akan dengan sangat teliti memberikan masukan.
"Tulisan kamu bagus. Kamu cukup kritis dan analitis. Supaya lebih sempurna, coba pelajari bagaimana kamu bisa menyusun kata-kata agar lebih meyakinkan. Bagus itu, kamu jadi tahu dan bisa belajar lebih baik lagi."
"Bagus itu" tak pernah ketinggalan.
Baginya semua muridnya punya perjalanannya masing-masing. Tak ada yang bodoh, tak ada yang kurang ajar.
Semua "bagus" dan bisa dibantu untuk "lebih bagus lagi." Di sinilah perannya sebagai seorang guru, untuk memberdayakan muridnya agar bisa mengeluarkan potensi terbesarnya.
Sebagai guru ia memilih untuk menjadi fasilitator, bukan instruktur. Ia memilih untuk bertanya, dan bukan memerintah. Ia memberdayakan, bukan mengoreksi.
Hal yang sama dilakukannya juga untuk semua temannya.
Tak ada korban gossip di matanya, karena semua orang "bagus" dan "hebat."
Ia bisa melihat kebaikan dari semua hal-hal sampai yang terkecil.
Istrinya, anaknya, teman-temannya, semua adalah berlian-berlian dalam hidupnya yang benar-benar disyukurinya.
Tak ada yang buruk, semua bagus.
Pak Bagus tak bisa dibilang ganteng, tapi melihat wajahnya semua orang merasa teduh. Wajah yang senyum terus.
Ia tak bisa dibilang kaya raya, tapi ia selalu sejahtera, selalu bisa berbagi dan menjadi tangan di atas.
Rejekinya adaaaaa saja. Seakan keberuntungan selalu ada di pihaknya. "Hoki" kalau kata orang.
Ia jarang sakit, dan keluarganya pun jarang sakit. Jadi hemat sekali mereka sebagai keluarga.
Itulah dia Pak Bagus, sebuah karunia bagi semua yang ada di sekitarnya.
Karena kita semua tak bisa mengeluh, tak bisa bergossip, tak bisa marah, karena semua dijawab dengan, "Bagus itu!"
Dan teman-temannya yang sudah siap mengeluh pun jadi berfikir, "Ia juga ya. Keluhanku itu sebenarnya bagus. Kenapa nggak terfikir kemarin-kemarin ya?"
Nah, teman-teman, kalau ada yang mau mengeluh, bayangkan ada Pak Bagus di samping dan langsung saja bilang, "Bagus itu." Itu dulu.
Nanti otak kita akan langsung mencerna dan mencari "bagusnya" di mana. Otak pintar kok. Ia akan menyesuaikan diri pada kata-kata kita.
Kalau ada yang mau gossip dekat kita, langsung jawab, "Dia suka marah-marah? Bagus itu. Jadi kita tahu dimarahin itu nggak enak. Sekarang kamu punya jalan dapat pahala kan?"
Kalau ada yang kesal gara-gara kehilangan barang, "Bagus itu. Siapa tahu kamu kurang sedekah. Bagus cuma kehilangan barang itu. Kalau hidupmu yang diambil, gimana?"
Ada yang nangis baru bercerai,
"Bagus itu. Kamu bisa cari yang lebih bagus lagi."
Semua bagus...
Karena semua kejadian terjadi sebagai akibat atas perbuatan kita sendiri, dan semua mengajarkan kepada kita untuk menanam kebaikan, agar kita memanen kebaikan pula.
Kita saja yang seringkali sulit mencari hikmah di balik semua kejadian.
Semua orang pun baik apa adanya, karena di dalam diri semua orang, bersemayamlah Sang Maha Bagus.
Semua yang hadir dalam kehidupan kita memberi pelajaran, agar kita bisa lebih bagus lagi dalam hidup, lebih dekat lagi dengan sesama kita, dan bersedia mempersembahkan yang paling bagus buat sesama kita.
Semua bagus. Semua indah.😁
Beliau adalah seorang guru yang sangat ceria, menyenangkan dan kocak.
Siapapun yang berada di dekatnya merasa gembira ria.
Keunikannya adalah bahwa ia selalu berkata, "Bagus itu!" untuk segala hal. Di matanya segalanya adalah karunia.
Hujan?
"Bagus itu, banyak berkah, saatnya berdoa"
Sakit?
"Bagus itu, saatnya untuk beristirahat"
Tidak naik kelas?
"Bagus itu, jadi kamu bisa belajar lebih dalam"
Dipecat?
"Bagus itu, saatnya belajar sungguh-sungguh menjadi pengusaha"
Di sisi lain ia perfeksionis luar biasa. Ia bisa melihat kesalahan sampai titik koma sekalipun. Bedanya dengan guru lain, ia tak pernah marah hanya gara-gara kurang titik koma. Ia akan dengan sangat teliti memberikan masukan.
"Tulisan kamu bagus. Kamu cukup kritis dan analitis. Supaya lebih sempurna, coba pelajari bagaimana kamu bisa menyusun kata-kata agar lebih meyakinkan. Bagus itu, kamu jadi tahu dan bisa belajar lebih baik lagi."
"Bagus itu" tak pernah ketinggalan.
Baginya semua muridnya punya perjalanannya masing-masing. Tak ada yang bodoh, tak ada yang kurang ajar.
Semua "bagus" dan bisa dibantu untuk "lebih bagus lagi." Di sinilah perannya sebagai seorang guru, untuk memberdayakan muridnya agar bisa mengeluarkan potensi terbesarnya.
Sebagai guru ia memilih untuk menjadi fasilitator, bukan instruktur. Ia memilih untuk bertanya, dan bukan memerintah. Ia memberdayakan, bukan mengoreksi.
Hal yang sama dilakukannya juga untuk semua temannya.
Tak ada korban gossip di matanya, karena semua orang "bagus" dan "hebat."
Ia bisa melihat kebaikan dari semua hal-hal sampai yang terkecil.
Istrinya, anaknya, teman-temannya, semua adalah berlian-berlian dalam hidupnya yang benar-benar disyukurinya.
Tak ada yang buruk, semua bagus.
Pak Bagus tak bisa dibilang ganteng, tapi melihat wajahnya semua orang merasa teduh. Wajah yang senyum terus.
Ia tak bisa dibilang kaya raya, tapi ia selalu sejahtera, selalu bisa berbagi dan menjadi tangan di atas.
Rejekinya adaaaaa saja. Seakan keberuntungan selalu ada di pihaknya. "Hoki" kalau kata orang.
Ia jarang sakit, dan keluarganya pun jarang sakit. Jadi hemat sekali mereka sebagai keluarga.
Itulah dia Pak Bagus, sebuah karunia bagi semua yang ada di sekitarnya.
Karena kita semua tak bisa mengeluh, tak bisa bergossip, tak bisa marah, karena semua dijawab dengan, "Bagus itu!"
Dan teman-temannya yang sudah siap mengeluh pun jadi berfikir, "Ia juga ya. Keluhanku itu sebenarnya bagus. Kenapa nggak terfikir kemarin-kemarin ya?"
Nah, teman-teman, kalau ada yang mau mengeluh, bayangkan ada Pak Bagus di samping dan langsung saja bilang, "Bagus itu." Itu dulu.
Nanti otak kita akan langsung mencerna dan mencari "bagusnya" di mana. Otak pintar kok. Ia akan menyesuaikan diri pada kata-kata kita.
Kalau ada yang mau gossip dekat kita, langsung jawab, "Dia suka marah-marah? Bagus itu. Jadi kita tahu dimarahin itu nggak enak. Sekarang kamu punya jalan dapat pahala kan?"
Kalau ada yang kesal gara-gara kehilangan barang, "Bagus itu. Siapa tahu kamu kurang sedekah. Bagus cuma kehilangan barang itu. Kalau hidupmu yang diambil, gimana?"
Ada yang nangis baru bercerai,
"Bagus itu. Kamu bisa cari yang lebih bagus lagi."
Semua bagus...
Karena semua kejadian terjadi sebagai akibat atas perbuatan kita sendiri, dan semua mengajarkan kepada kita untuk menanam kebaikan, agar kita memanen kebaikan pula.
Kita saja yang seringkali sulit mencari hikmah di balik semua kejadian.
Semua orang pun baik apa adanya, karena di dalam diri semua orang, bersemayamlah Sang Maha Bagus.
Semua yang hadir dalam kehidupan kita memberi pelajaran, agar kita bisa lebih bagus lagi dalam hidup, lebih dekat lagi dengan sesama kita, dan bersedia mempersembahkan yang paling bagus buat sesama kita.
Semua bagus. Semua indah.😁
Monday, 21 November 2016
AKU LELAH......😩
Suatu hari, seorang anak mengeluh kepada ayahnya yang sedang bekerja. “Ayah, boleh aku bicara?” kata sang Anak.
"Ada apa, nak?" tanya sang Ayah.
Sang Ayah kemudian duduk disamping anaknya dan berkata, "ayo ceritakan nak, Ayah akan mendengarkan."
“Aku lelah, sangat lelah hati ini, ayah..."
"Aku lelah karena Aku belajar mati-matian untuk mendapat nilai bagus, sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…
Aku mau menyontek saja!Aku lelah, sangat lelah."
"Aku lelah karena aku harus terus membantu Ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, _
Aku ingin Kita punya pembantu, ayah.!"
"… Aku lelah, sangat lelah …"
"Aku lelah karena Aku harus menabung,
sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung… _
Aku ingin jajan terus! …"
"Aku lelah, karena Aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku .."
"Aku lelah, sangat lelah karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai Aku sakit hati…"
"Aku lelah Ayah, menahan diri seperti ini…
Aku ingin seperti mereka… mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Ayah ! ..” sang Anak mulai menangis…
Sang Ayah hanya tersenyum
dan mengelus kepala anaknya sambil berkata
"Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu."
Lalu sang Ayah menarik tangan sang Anak. Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek dan berbatu, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang.
Sang anak pun mulai mengeluh.
"Ayah mau kemana Kita" ?? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang. Aku benci jalan ini Ayah."
Sang Ayah hanya diam.
Akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat Indah, airnya sangat jernih dan segar, hawanya begitu sejuk, ada banyak kupu kupu, bunga - bunga yang cantik, dan pepohonan yang sangat rindang.
“Wwaaaah…
Tempat apa ini ayah? Aku suka! Aku suka tempat ini!”
Sang Ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping Ayah” ujar sang Ayah.
Lalu sang Anak pun ikut duduk di samping Ayahnya.
"Anakku, tahukah Kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah?”
"Tidak tahu Ayah, memangnya kenapa?”
"Itu karena orang - orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa Bersabar dalam menyusuri jalan itu."
"Ooh… berarti Kita termasuk orang yang Sabar ya Yah, Puji Tuhan......"
"Nah, akhirnya Kau mengerti."
"Mengerti apa? aku tidak mengerti."
"Anakku,...
butuh Kesabaran dalam belajar,
butuh Kesabaran dalam bersikap baik,
butuh Kesabaran dalam Kejujuran,
butuh Kesabaran dalam setiap kebaikan,
agar Kita mendapat Kemenangan, seperti jalan yang tadi."
"Bukankah kau harus Sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus Sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus Sabar melewati ilalang dan kau pun harus Sabar saat dikelilingi serangga. Dan akhirnya semuanya terbayar kan?"
"Ada telaga yang sangat Indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa Anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku."
"Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar."
"Ayah tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat.
Begitu pula dalam hidup ini, ada Ayah dan Ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu."
"Tapi ingatlah Anakku…
Ayah dan Ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri, maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri. Seorang pemuda beragama yang kuat, yang tetap tabah dan Sabar maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang, maka kau tau akhirnya kan?”
"Ya Ayah, Aku paham...
Aku akan dapat Surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih Ayah, Aku akan tetap SABAR dan TEGAR saat yang lain TERLEMPAR..."
"Ayah sangat menyayangimu Anakku.
Jika kelak kau dewasa, maka jadilah seperti air yang ada di telaga ini. Begitu indah dan bersih. Ia menjadi sumber kekuatan dan kehidupan bagi apapun dan siapapun yang ada disekitarnya.
Air inilah yang menjadikan Bunga itu tampak begitu Cantik dan begitu banyak pohon rindang disini.
Jadilah kau kelak seperti itu..."
"Menjadi sumber kekuatan dan kehidupan bagi orang2 di sekelilingmu..."
"Ada apa, nak?" tanya sang Ayah.
Sang Ayah kemudian duduk disamping anaknya dan berkata, "ayo ceritakan nak, Ayah akan mendengarkan."
“Aku lelah, sangat lelah hati ini, ayah..."
"Aku lelah karena Aku belajar mati-matian untuk mendapat nilai bagus, sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…
Aku mau menyontek saja!Aku lelah, sangat lelah."
"Aku lelah karena aku harus terus membantu Ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, _
Aku ingin Kita punya pembantu, ayah.!"
"… Aku lelah, sangat lelah …"
"Aku lelah karena Aku harus menabung,
sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung… _
Aku ingin jajan terus! …"
"Aku lelah, karena Aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku .."
"Aku lelah, sangat lelah karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai Aku sakit hati…"
"Aku lelah Ayah, menahan diri seperti ini…
Aku ingin seperti mereka… mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Ayah ! ..” sang Anak mulai menangis…
Sang Ayah hanya tersenyum
dan mengelus kepala anaknya sambil berkata
"Anakku ayo ikut Ayah, Ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu."
Lalu sang Ayah menarik tangan sang Anak. Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek dan berbatu, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang.
Sang anak pun mulai mengeluh.
"Ayah mau kemana Kita" ?? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. Badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah karena ada banyak ilalang. Aku benci jalan ini Ayah."
Sang Ayah hanya diam.
Akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat Indah, airnya sangat jernih dan segar, hawanya begitu sejuk, ada banyak kupu kupu, bunga - bunga yang cantik, dan pepohonan yang sangat rindang.
(Pkitvice Lakes National Park, Kroasi)
“Wwaaaah…
Tempat apa ini ayah? Aku suka! Aku suka tempat ini!”
Sang Ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.
“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping Ayah” ujar sang Ayah.
Lalu sang Anak pun ikut duduk di samping Ayahnya.
"Anakku, tahukah Kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah?”
"Tidak tahu Ayah, memangnya kenapa?”
"Itu karena orang - orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa Bersabar dalam menyusuri jalan itu."
"Ooh… berarti Kita termasuk orang yang Sabar ya Yah, Puji Tuhan......"
"Nah, akhirnya Kau mengerti."
"Mengerti apa? aku tidak mengerti."
"Anakku,...
butuh Kesabaran dalam belajar,
butuh Kesabaran dalam bersikap baik,
butuh Kesabaran dalam Kejujuran,
butuh Kesabaran dalam setiap kebaikan,
agar Kita mendapat Kemenangan, seperti jalan yang tadi."
"Bukankah kau harus Sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus Sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus Sabar melewati ilalang dan kau pun harus Sabar saat dikelilingi serangga. Dan akhirnya semuanya terbayar kan?"
"Ada telaga yang sangat Indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapat apa apa Anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku."
"Tapi Ayah, tidak mudah untuk bersabar."
"Ayah tahu, oleh karena itu ada Ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat.
Begitu pula dalam hidup ini, ada Ayah dan Ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu."
"Tapi ingatlah Anakku…
Ayah dan Ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri, maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri. Seorang pemuda beragama yang kuat, yang tetap tabah dan Sabar maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang, maka kau tau akhirnya kan?”
"Ya Ayah, Aku paham...
Aku akan dapat Surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih Ayah, Aku akan tetap SABAR dan TEGAR saat yang lain TERLEMPAR..."
"Ayah sangat menyayangimu Anakku.
Jika kelak kau dewasa, maka jadilah seperti air yang ada di telaga ini. Begitu indah dan bersih. Ia menjadi sumber kekuatan dan kehidupan bagi apapun dan siapapun yang ada disekitarnya.
Air inilah yang menjadikan Bunga itu tampak begitu Cantik dan begitu banyak pohon rindang disini.
Jadilah kau kelak seperti itu..."
"Menjadi sumber kekuatan dan kehidupan bagi orang2 di sekelilingmu..."
Tuesday, 21 June 2016
Harga Sebuah Hati
Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel
berbintang lima. Sang petugas Satpam yang berdiri di samping pintu hotel
menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas
ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang
agak di pojok. Petugas Satpam itu memperhatikan
sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena
dua kali waiter mendatanginya, tapi wanita itu hanya menggelengkan kepala.
Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk
seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya. Petugas Satpam itu
mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari
mangsa di hotel ini. Usianya nampak belum terlalu dewasa, tapi tak bisa
dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa. Setelah
sekian lama, akhirnya memaksa petugas Satpam itu untuk mendekati meja wanita
itu dan bertanya, “Maaf, Nona... Apakah Anda sedang menunggu seseorang?”
“Tidak!” Jawab wanita itu
sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.
“Lantas untuk apa Anda duduk
di sini?”
“Apakah tidak boleh?” Wanita
itu mulai memandang ke arah sang petugas Satpam.
“Maaf, Nona. Ini tempat
berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.”
“Maksud, Bapak?”
“Anda harus memesan sesuatu
untuk bisa duduk di sini”
“Nanti saya akan pesan
setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk
sesuatu yang akan saya jual,” kata wanita itu dengan suara lambat.
“Jual? Apakah Anda menjual
sesuatu di sini?” Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu.
Tak nampak ada barang yang
akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawa brosur.
“O.K. lah. Apapun yang akan
Anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti.”
“Saya ingin menjual diri saya,” kata wanita itu
dengan tegas sambil menatap dalam-dalam ke arah petugas Satpam itu. Petugas
Satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
“Mari ikut saya,” kata petugas Satpam itu
memberikan isyarat dengan tangannya.
Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperatif
karena ada secuil senyum di wajah petugas Satpam itu. Tanpa ragu wanita itu
melangkah mengikuti petugas Satpam itu.
Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya
untuk satu orang. Di sebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus
bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat
inilah deal berlangsung.
“Apakah Anda serius?”
“Saya serius,” jawab wanita
itu tegas.
“Berapa tarif yang Anda
minta?”
“Setinggi-tingginya.”
“Mengapa?” Petugas satpam itu terkejut sambil
menatap wanita itu.
“Saya masih perawan.”
“Perawan?” Sekarang petugas
satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri.
Peluang emas untuk
mendapatkan rezeki berlebih hari ini... Pikirnya.
“Bagaimana saya tahu Anda
masih perawan?”
“Gampang sekali. Semua pria
dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan... Ya, kan...”
“Kalau tidak terbukti?”
“Tidak usah bayar”
“Baiklah...” Petugas Satpam
itu menghela napas. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan. “Saya akan membantu
mendapatkan pria kaya yang ingin membeli keperawanan Anda.”
“Cobalah.”
“Berapa tarif yang diminta?”
“Setinggi-tingginya.”
“Berapa?”
“Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa?”
“Baiklah. Saya akan tawarkan
kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.” Petugas Satpam itu berlalu dari
hadapan wanita itu.Tak berapa lama kemudian, petugas Satpam itu datang lagi
dengan wajah cerah. “Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta 5 juta.
Bagaimana?”
“Tidak adakah yang lebih tinggi?”
“Ini termasuk yang tertinggi,” petugas Satpam itu
mencoba meyakinkan.
"Saya ingin yang lebih
tinggi...”
“Baiklah. Tunggu di sini...”
Petugas satpam itu berlalu. Tak berapa lama petugas Satpam itu datang lagi
dengan wajah lebih berseri. “Saya dapatkan harga yang lebih tinggi, 6 juta.
Bagaimana?”
“Tidak adakah yang lebih tinggi?”
“Nona, ini harga sangat
pantas untuk Anda. Cobalah bayangkan, bila Anda diperkosa oleh pria, Anda tidak
akan mendapatkan apa-apa. Atau andai keperawanan Anda diambil oleh pacar Anda,
Anda pun tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali janji. Dengan uang 6 juta Anda
akan menikmati layanan hotel berbintang untuk semalam dan keesokan paginya Anda
bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, Anda juga telah
berbuat baik terhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi
ini dari tamu hotel. Adil, kan? Kita sama-sama butuh...”
“Saya ingin tawaran
tertinggi...” Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas Satpam itu.
Petugas satpam itu terdiam.
Namun tidak kehilangan semangat. “Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi
sebaiknya Anda ikut saya. Tolong kancing baju Anda disingkapkan sedikit. Agar
ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli,” kata petugas Satpam itu
dengan agak kesal.
Wanita itu tak peduli dengan
saran petugas Satpam itu, tapi tetap mengikuti langkah petugas Satpam itu
memasuki lift. Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata
sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.
“Ini yang saya maksud, Tuan.
Apakah Tuan berminat?” Kata petugas satpam itu dengan sopan.
Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke
sekujur tubuh wanita itu... “Berapa?” Tanya pria itu kepada wanita itu.
“Setinggi-tingginya,” jawab
wanita itu dengan tegas.
“Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang?”
Tanya pria itu kepada sang petugas Satpam.
“ 6 Juta, Tuan”
“Kalau begitu saya berani
dengan harga 7 juta untuk semalam.”
Wanita itu terdiam. Petugas
Satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawaban bagus dari
wanita itu.
“Bagaimana?” tanya pria itu.
“Saya ingin lebih tinggi
lagi...” Kata wanita itu.
Petugas satpam itu tersenyum
kecut.
“Bawa pergi wanita ini,” kata
pria itu kepada petugas Satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.
“Nona, Anda telah membuat
saya kesal. Apakah Anda benar-benar ingin menjual?”
“Tentu!”
“Kalau begitu mengapa Anda menolak harga tertinggi
itu?”
“Saya minta yang lebih tinggi
lagi...”
Petugas Satpam itu menghela
napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang.
Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya. “Kalau
begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar
yang lainnya.”
Di lobi hotel, petugas satpam
itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan
yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudah sekian lama, tak ada yang nampak
dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang
berbicara lewat telepon genggamnya.
“Bukankah kemarin saya sudah
kasih kamu uang 25 juta? Apakah itu tidak cukup?” Terdengar suara pria itu
berbicara. Wajah pria itu nampak masam seketika. “Datanglah kemari. Saya
tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita enggak ketemu, ya
sayang?'”
Kini petugas Satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang
berbicara dengan wanita. Kemudian, dilihatnya pria itu menutup teleponnya. Ada
kekesalan di wajah pria itu. Dengan tenang, petugas Satpam itu berkata kepada
pria itu: “Pak, apakah Anda butuh wanita?”
Pria itu menatap sekilas ke arah petugas Satpam dan
kemudian memalingkan wajahnya. “Ada wanita yang duduk di sana.” Petugas Satpam
itu menujuk ke arah wanita tadi. Petugas Satpam itu tak kehilangan akal untuk
memanfaatkan peluang ini.
“Dia masih perawan.” Pria itu
mendekati petugas Satpam itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.
“Benarkah itu?”
“Benar, pak.”
“Kalau begitu kenalkan saya
dengan wanita itu...”
“Dengan senang hati. Tapi,
Pak... Wanita itu minta harga setinggi-tingginya.”
“Saya tidak peduli ...” Pria
itu menjawab dengan tegas.
Pria itu menyalami hangat
wanita itu.
“Bapak ini siap membayar
berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah...” Kata petugas Satpam itu
dengan nada kesal.
“Mari kita bicara di kamar
saja,” kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas Satpam itu.
Wanita itu mengikuti pria itu
menuju kamarnya. Di dalam kamar...
“Beritahu berapa harga yang
kamu minta?”
“Seharga kesembuhan ibu saya
dari penyakit.”
“Maksud kamu?”
“Saya ingin menjual
satu-satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara
saya berterima kasih...”
“Hanya itu?”
“Ya!”
Pria itu memperhatikan wajah wanita itu. Nampak
terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya.
Tidak pula menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai
petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini
sadar bahwa di hadapannya ada kehormatan yang tak ternilai, melebihi dari
keperawanan wanita, yaitu keteguhan untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa
sesal. Wanita ini tidak melawan gelombang laut, melainkan ikut kemana gelombang
membawa dia pergi. Ada kepasrahan di atas keyakinan tak tertandingi bahwa
kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan
cara-cara terhormat.
“Siapa nama kamu?”
“Itu tidak penting. Sebutkanlah
harga yang bisa Bapak bayar,” jawab wanita itu.
“Saya tak bisa menyebutkan
harganya, karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar.”
“Kalau begitu, tidak ada
kesepakatan!”
“Ada !” Kata pria itu
seketika.
"Sebutkan!”
“Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya
beli dari kamu. Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa
ibumu ke rumah sakit. Dan sekarang pulanglah,” kata pria itu sambil menyerahkan
uang dari dalam tas kerjanya.
"Saya tidak mengerti.”
“Selama ini saya selalu
memanjakan istri simpanan saya. Dia menikmati semua pemberian saya, tapi dia
tak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya memberi, maka selamanya
dia selalu meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari
seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orangtuanya. Ini suatu
kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar.”
“Dan apakah Bapak ikhlas?”
“Apakah uang itu kurang?”
“Lebih dari cukup, Pak.”
"Sebelum kamu pergi,
boleh saya bertanya satu hal?”
“Silahkan.”
“Mengapa kamu begitu
beraninya?”
“Siapa bilang saya berani.
Saya takut, Pak. Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk
membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal. Ketika saya mengambil
keputusan untuk menjual kehormatan saya, maka itu bukanlah karena dorongan
nafsu, bukan pula pertimbangan akal saya yang bodoh. Saya hanya bersikap dan berbuat
untuk sebuah keyakinan.”
“Keyakinan apa?”
“Jika kita ikhlas berkorban
untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan-lah yang akan menjaga kehormatan kita...”
Wanita itu kemudian melangkah keluar kamar. Sebelum sampai di pintu wanita itu
berkata, “Lantas apa yang Bapak dapat dari membeli ini?”
“Kesadaran...”
Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu
yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.
“Kamu sudah pulang, Nak.”
“Ya, Bu...”
“Kemana saja kamu, Nak?”
“Menjual sesuatu, Bu.”
“Apa yang kamu jual?” Ibu itu
menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum...
Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia
untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi
yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual
adalah keseharian yang tak bisa dielakan. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa
pamrih, tanpa perhitungan...
“Kini saatnya ibu untuk
berobat...” Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata, “Tuhan telah
membeli yang saya jual...”
Taksi yang tadi ditumpanginya
dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam
taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi, “Antar kami ke rumah
sakit, Pak...”
Thursday, 26 May 2016
Untuk Papa dan Mama
Papa yang kurindukan...
Papa, pandanglah aku dan lihatlah mataku. ApakahKau lihat kerinduanku untuk bersamamu. Bermain bersama-sama, menggendongku, mengajakku berjalan-jalan serta membelikanku ice cream seperti yang dulu kita lakukan bersama. Sekarang Papa jarang bersamaku lagi. Setiap aku mengajak Papa jalan-jalan atau mendongeng untukku, Papa selalu berkata,”Papa tidak sempat sayang, pekerjaan Papa banyak” atau Papa berkata:”Sayang, lain kali saja yah. Hari ini Papa capek”. Benarkah tidak ada lagi waktu Papa untukku?
Walaupun Papa sering membelikanku hadiah, bukan itu yang kuinginkan. Aku rindu kasih sayang Papa, Aku rindu pelukanmu dan usapanmu di kepalaku. Aku lebih senang jika Papa tidak bekerja dan di rumah saja menemani aku, tapi Mama bilang kalau Papa tidak bekerja nanti kita tidak bisa makan.
Apakah semua pekerjaan itu jahat sampai mengambil semua waktu Papa bersamaku? Sering aku nakal tapi sebenarnya bukan maksudku untuk nakal. Kupikir dengan cara inilah Papa baru memperhatikan aku. Papa berikanlah waktumu untukku. Aku membutuhkan kasih sayang dan perlindunganmu.
Mama yang baik.....
Aku mau mama selalu di dekatku, menyayangi aku dengan penuh kasih. Karena mamalah yang paling sering bersamaku. Pakaian dan mainan yang mama berikan itu baik, tapi aku lebih suka kalau mama memeluk dan menemaniku ketika aku tidur dan mengajariku berdoa dan mamalah yang ingin kulihat di saat aku bangun pagi.
Mama yang selalu berkata agar aku tidak nakal, tetapi tahukah mama mengapa aku nakal? Aku ingin mendapat perhatian dari Mama. Hanya usapan tangan Mama yang lembut, tatapan mata yang penuh kasih dan pelukan hangat yang kurindukan.
Papa dan Mama yang terkasih...
Aku memang belum tahu bagaimana kehidupan orang dewasa. Aku belum tahu masalah yang mereka hadapi. Tetapi apakah semua orang dewasa selalu menumpahkan kekesalannya kapada anak-anak? Papa dan Mama, bukankah Papa dan Mama dulu juga pernah kecil? Aku senang dan bahagia sekali bila kita bisa bersama-sama bermain dan tertawa bersama. Itu akan kuingat hingga aku dewasa nanti. Tetapi aku benci sekali bila Papa dan Mama berselisih di depanku. Aku pikir orang dewasa juga seperti anak kecil, suka bertengkar! Padahal kalau kami bertengkar, Papa dan Mama selalu memarahi kami.
Aku mau menjadi seperti Yesus yang kudengar di Sekolah Minggu, baik dan penuh kasih kepada orang lain. Tolonglah, Papa dan Mama menjadi teladanku agar aku bisa menjadi seperti Yesus. Dan aku akan menjadi baik bila Papa dan Mama bisa menjadi teladanku yang baik.
dari Anak Papa-Mama
Papa, pandanglah aku dan lihatlah mataku. ApakahKau lihat kerinduanku untuk bersamamu. Bermain bersama-sama, menggendongku, mengajakku berjalan-jalan serta membelikanku ice cream seperti yang dulu kita lakukan bersama. Sekarang Papa jarang bersamaku lagi. Setiap aku mengajak Papa jalan-jalan atau mendongeng untukku, Papa selalu berkata,”Papa tidak sempat sayang, pekerjaan Papa banyak” atau Papa berkata:”Sayang, lain kali saja yah. Hari ini Papa capek”. Benarkah tidak ada lagi waktu Papa untukku?
Walaupun Papa sering membelikanku hadiah, bukan itu yang kuinginkan. Aku rindu kasih sayang Papa, Aku rindu pelukanmu dan usapanmu di kepalaku. Aku lebih senang jika Papa tidak bekerja dan di rumah saja menemani aku, tapi Mama bilang kalau Papa tidak bekerja nanti kita tidak bisa makan.
Apakah semua pekerjaan itu jahat sampai mengambil semua waktu Papa bersamaku? Sering aku nakal tapi sebenarnya bukan maksudku untuk nakal. Kupikir dengan cara inilah Papa baru memperhatikan aku. Papa berikanlah waktumu untukku. Aku membutuhkan kasih sayang dan perlindunganmu.
Mama yang baik.....
Aku mau mama selalu di dekatku, menyayangi aku dengan penuh kasih. Karena mamalah yang paling sering bersamaku. Pakaian dan mainan yang mama berikan itu baik, tapi aku lebih suka kalau mama memeluk dan menemaniku ketika aku tidur dan mengajariku berdoa dan mamalah yang ingin kulihat di saat aku bangun pagi.
Mama yang selalu berkata agar aku tidak nakal, tetapi tahukah mama mengapa aku nakal? Aku ingin mendapat perhatian dari Mama. Hanya usapan tangan Mama yang lembut, tatapan mata yang penuh kasih dan pelukan hangat yang kurindukan.
Papa dan Mama yang terkasih...
Aku memang belum tahu bagaimana kehidupan orang dewasa. Aku belum tahu masalah yang mereka hadapi. Tetapi apakah semua orang dewasa selalu menumpahkan kekesalannya kapada anak-anak? Papa dan Mama, bukankah Papa dan Mama dulu juga pernah kecil? Aku senang dan bahagia sekali bila kita bisa bersama-sama bermain dan tertawa bersama. Itu akan kuingat hingga aku dewasa nanti. Tetapi aku benci sekali bila Papa dan Mama berselisih di depanku. Aku pikir orang dewasa juga seperti anak kecil, suka bertengkar! Padahal kalau kami bertengkar, Papa dan Mama selalu memarahi kami.
Aku mau menjadi seperti Yesus yang kudengar di Sekolah Minggu, baik dan penuh kasih kepada orang lain. Tolonglah, Papa dan Mama menjadi teladanku agar aku bisa menjadi seperti Yesus. Dan aku akan menjadi baik bila Papa dan Mama bisa menjadi teladanku yang baik.
dari Anak Papa-Mama
Subscribe to:
Posts (Atom)